HABAR
BANUA - BANJARMASIN. Belum usai menyidikan kasus perkara korupsi
dana anggaran Bantuan Sosial (Bansos) Pemprov Kalsel 2010 sebesar Rp27,5
miliar yang dialokasikan sebagai dana alokatif bagi 55 anggota DPRD Kalsel Periode 2009-2014
yang mana seorang anggota dewan mendapatkan jatah sebesar Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah), kini muncul lagi perkara dugaan korupsi perjalan
dinas fiktif diduga menyeret 55 nama anggota DPRD Kalsel Periode 2014-2019
sebesar Rp7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah).
Sebelumnya Penyidik Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan,
memperkirakan negara telah dirugikan sekitar Rp7.000.000.000,00 (tujuh milyar
rupiah) terkait dugaan kasus perjalanan dinas fiktif sejumlah anggota DPRD
Provinsi Kalimantan Selatan Periode 2014-2019 dan para stafnya. Sedangkan dana
yang telah dikembalikan sebagian oknum Anggota Dewan tersebut hanya sebesar
Rp460.000.000,00 (empat ratus enam puluh juta rupiah), ujar Asisten Pidana
Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan, Munaji SH dalam
paparannya kepada wartawan di Banjarmasin.
Sementara itu pihak Kejaksaan sudah memeriksa sejumlah
mantan dan anggota dewan aktif yang diduga menggunakan dana ABPD dalam
perjalanan dinas fiktif, diantaranya Kejaksaan sudah memeriksa mantan Bupati
Tapin Idis Nurdin, Bupati Hulu Sungai Tengah sekarang Abdul Latief, Walikota
Banjarmasin sekarang Ibnu Sina, Wakil Walikota Banjarmasin sekarang Hermansyah,
Danu Iswara, Ansor Ramadlan anggota DPRD Kalsel aktif, Ali Khaidir Al Kaff,
Iskandar Zulkarnain, Ismail Hidayat, dan Suwardi Sarlan. Diantara mereka yang
baru mengembalikan yaitu Abdul Latief sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah). Sementara Wakil Walikota Banjarmasin Hermansyah berjanji akan mengembalikan
secepatnya sebesar Rp55.000.000,00 (lima puluh lima juta rupiah), Danu Iswara
sebesar Rp23.000.000,00 (dua puluh tiga juta rupiah), begitu juga dengan Bupati
Barito Kuala terpilih Hajjah Noormiliyani AS yang konon kabarnya juga akan mengembalikan uang milik negara tersebut yang
terdiri dari dana tiket penerbangan dan penginapan sejumlah Rp106.000.000,00
(seratus enam juta rupiah).
Kajati Kalsel Dr. H. Abdul Muni SH MH memaparkan dalam
jumpa persnya kepada wartawan, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) Kalimantan Selatan yang menjadikan pegangan tim jaksa
penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalsel dalam melakukan penyidikan, ujarnya.
Dalam jumpa persnya yang dihadiri puluhan wartawan baik
dari media cetak, online maupun elektronik, Kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan
Selatan ini di dampingi para asisten, usai peringatan Hari Bhakti Adhyaksa
ke-57 di Banjarmasin, Sabtu (22/7) memaparkan, tindakan penyelamatan kerugian
negara dari beberapa pendampingan yang dilakukan tim asisten perdata dan tata
usaha (datum) mencapai Rp18.000.000.000,00 (delapan belas milyar rupiah).
Sedangkan untuk kasus pidana khusus lanjut dia belum diketahui.
Kasus ini akan di ekspose ke Kejaksaan Agung dan pihaknya
tidak akan lain-lain menangani perkara ini , karena Kasus ini disurvesi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), jadi menurut dia pihaknya selalu
berkoordinasi dengan KPK. “Kasus ini sudah tahap penyidikan umum dan ini masih
dilakukan pemeriksaan oleh penyidik terhadap terduga penerima dana perjalan
dinas tersebut. Kami menerima foto copy dari BPKP ada 123 diduga menerima dana
itu dan ini terus kami lakukan penyidikan,” ujarnya.
Selanjutnya Kajati Kalsel ini menuturkan bahwa menurut
dia mereka itu ada yang menerima dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) hingga belasan juta rupiah. Oleh karena itu pihaknya meminta bagi ke
123 orang terduga menikmati dana perjanalan dinas itu segera mengembalikannya,
tegasnya.
“Kami meminta agar para anggota dewan termasuk para staf
dewan dan pejabat lainnya yang menikmati dana perjalanan dinas di DPRD Kalsel
segera mengembalikan dana tersebut ke kas negara. Bagi anggota dewan yang
mengembalikan dana perjalanan dinas ke kas negara, sementara waktu ini masih
menunggu supervisi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ya, apakah nanti
dilanjutkan dengan tindakan hukum tergantung hasil
supervisi dari KPK,” ujar mantan Kajati Bali ini dalam paparannya.
Diketahui berdasarkan hasil audit BPKP Kalsel dalam kasus
dugaan korupsi dana perjalanan dinas fiktif DPRD Kalsel, termasuk kelebihan
bayar tercatat mencapai Rp7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah) yang terbagi
dalam dua item potensi, kelebihan bayar dan adanya 15 anggota DPRD Kalsel yang
melakukan perjalanan dinas fiktif. Selain itu pula BPKP Kalsel juga menemukan
adanya 123 orang yang menikmati dana perjalanan dinas khususnya para staf dan
pejabat di lingkungan Sekretariat DPRD Kalsel sebesar Rp7.000.000.000,00 (tujuh
milyar rupiah), termasuk 55 orang anggota DPRD Kalsel. Total uang yang
dinikmati para anggota dewan ini bervariasi dari puluhan juta hingga ratusan
juta, dan terbesar adalah Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Salah seorang aktivis Kalimantan Selatan, Aspihani Ideris
menilai diketika dihubungi wartawan Suara Kalimantan via telepon menyangkan
sudah dua periode ini anggota dewan Kalsel terjerat kasus korupsi, sebelumnya
kasus korupsi bansos yang menimpa anggota DPRD Kalsel masa bakti 2009-2014
belum usai disidik oleh Kejati Kalsel, namun muncul lagi kasus korupsi perjalan
dinas fiktif yang diduga dilakukan sebagian besar anggota DPRD Kalsel masa
bakti 2014-2019 dan kedua-duanya menggunakan uang APBD alias uang negara. “Data
kasus korupsi Bantuan Sosial tahun 2010 kami kantungi, namun sayang Kejati
belum tuntas menyidiknya, muncul lagi kasus perjalan dinas fiktif.
Mudah-mudahan kasus perjalan dinas fiktif ini Kejati bisa bertindak profesional
dalam menjalankan tugasnya,” ucapnya.
Aspihani memaparkan, jika adanya niat beberapa oknum
anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan masa bakti 2014-2019 yang akan
mengembalikan dana dugaan hasil korupsi berupa kelebihan bayar dan perjalanan
dinas fiktif tahun anggaran 2015 tersebut tidak akan dapat menghapuskan tindak
pidana yang telah dilakukan oleh mereka, namun dengan mengembalikannya hanya
akan mengurangi sanksinya saja. Karena menurut dia pelaku kejahatan korupsi itu
sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh UU No. 20 Th. 2001 didalam Pasal 2
UU ayat (1) diancam pidana penjara seumur hidup dan paling singkat 4 tahun
serta paling lama 20 tahun, ujar Direktur Eksekutif Lembaga Kerukunan
Masyarakat Kalimantan (LEKEM KALIMANTAN).
Alumnus Magister Hukum Universitas Islam Malang angkatan 2010
ini memaparkan bahwa para anggota dewan yang telah menjalankan perjalan dinas
fiktif ini dikatagorikan dengan tindak pidana korupsi, karena uang yang
digunakan oleh mereka itu merupakan uang negara dan jelas itu melanggar UU No.
20 Th. 2001 di ancam denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Selain itu pula
di dalam UU No.20 Th. 2001 terdapat pada Pasal 3 menjelaskan, setiap orang yang
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, atau
menyalahgunakan kewenangan dalam jabatannya dan merugikan keuangan negara maka
yabg bersangkutan dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjarapaling
singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah), ujar Aspihani.
Intinya menurut Aspihani dan dikuatkan sebagaimana amanah
UU No. 20 Th. 2001 Pasal 4 UU Pemberantasan Tipikor bahwa pengembalian kerugian
keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana perjalan dinas fiktif para
anggota DPRD Kalsel tersebut tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Hanya saja bagi mereka
yang mengembalikan uang hasil perjalanan dinas fiktif ini dapat meringankan
tuntutan pidananya. Namun Aspihani berharap pihak Kejati Kalsel memberikan
toleransi bagi yang mengembalikan uang negara ini. (Anang Tony)