Rabu, 07 Juni 2006

Tragide Perang SAMPIT Berdarah



HABAR BANUA - SAMPIT. Lima tahun sudah berlalu tragedi Sampit merupakan sebuah kisah pilu yang tak mudah terlupakan dibenak kita, dan kejadian ini menjadi berita hangat di negeri ini menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu menakutkan karena pertikaian etnis yang meletusnya tragedi Sampit pada 18 Februari 2001(saya katakan di sini "pertikaian etnis" murni, tidak ada faktor SARA lainnya) serta mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi di kemudian hari, karena kita semua bersaudara dan sebangsa serta setanah air dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh harkat dan harga diri. Antara masyarakat suku Dayak dan Suku Banjar merupakan kesatuan dan persaudaraan sedarah. Karena sejarah suku di Kalimantan ini adalah hidupnya dua kakak beradik, si kakak tinggal bermasyarakat di luar pegunungan atau hutan rimba (disebut suku Banjar), sedangkan si adik sebaliknya (disebut suku Dayak). Sejak zaman dahulu diketika peradaban masuk ke dalam kehidupan mereka, mereka menentang budaya kekerasan, bahkan mereka dikenal dengan masyarakat yang santun serta ramah tamahnya dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki sifat pemalu terhadap pendatang, apalagi masyarakat Dayak yang tinggal di pedalaman kalimantan, sifat pemalunya sangat kental disana. Tidak jarang saya jumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi dan hanya berani mengintip dari balik papan dinding rumahnya bila melihat orang asing datang mendekat.

Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang kuat antar masyarakat Dayak bahkan dengan suku Banjar di seluruh pulau Kalimantan (termasuk suku Dayak diwilayah Malaysia). Memang antara suku Dayak dengan suku Banjar masih ada aliran darah kekerabatan. Sekilas cerita antara suku Dayak dengan suku Banjar, konon sih cerita zaman dahulu kala di Kalimantan ini hidup dua bersaudara (adik-kakak). Ringkas cerita dua bersaudara ini memilih hidup jalan mereka masing-masing, yang adik hidup menyendiri menjauh dari kehidupan (tinggal di daerah hutan dan perbukitan) di sebut dengan menghasilkan suku Dayak dan si kakak tinggal di daerah luar mencari tempat yang mudah di jangkau (tempat keramaian) disebut suku Banjar.

Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..??
Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa, terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat.

Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan/penyelesaian secara hukum tidak ada sama sekali.

Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan dari etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok oleh 30 (tigapuluh) orang Madura). Terhadap pembunuhan atas warga Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian: dilakukan peniwahan Pulai itu dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.

Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura, ternyata hukumannya sangat ringan.

Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang Dayak: dihukum berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.

Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura yang ?tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara mengenaskan, ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur?.Yang tidak dapat dikejar oleh si tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat di tempat kejadian.

Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.

Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (Ketertiban Umum) dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangkaraya, namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut temannya tersebut dibebaskan tanpa tuntutan, ternyata pihak Polresta Palangka Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum terhadap pelaku etnis Madura tersebut.

Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa orang suku Madura masalah sengketa tanah, 2 (dua) orang Dayak dalam perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh lolos, malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri dari etnis Madura itu.

Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura, gara-gara suku Madura memaksa mengambil/merampas emas pada saat suku Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke dua belah pihak, kasus tersebut tanpa penyelesaian hukum.

Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura, pasangan suami-isteriitu luka berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, biaya operasi/perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok/pelaku dari etnis madura tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura sana!!!... (Tiga orang Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu IBA menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, isteri IBA mau membela, juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas dendam, tapi salah orang/alamat).

Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa ada sama sekali penyelesaian hukum.

Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak di bunuh / mati oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan Bangka. Para pelaku lari, akan tetapi pihak kepolisian tidak mengajarnya dan kasus ini tanpa proses hukum.

Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok oleh suku Madura, para pelaku kabur/lari, tidak tertangkap, karena lagi-lagi? kata pihak kepolisian dengan intengnyanya mengatakan? pelaku sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum tidak ada karena pihak berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).

Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak dibunuh/dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak. Bahkan pada waktu itu etnis Madura ingin menjadikan kota tersebut sebagai kota Sampang ke dua. Dari sinilah kesabaran suku Dayak mulai luntur, dan akhirnya terjadi tragedi Sampit. Dari perkara inilah akhirnya tokoh-tokoh Suku Dayak Dayak dan tokoh-tokoh Suku Banjar bersepakat akan melakukan perlawanan, baik secara jahir maupun secara gaib. Mereka menyatukan kekuatan untuk melawan Suku Madura, yang pada akhirnya ratusan ribu nyawa dari Suku Dayak melayang sia-sia akibat perlawanan kedua suku ini secara gaib.

Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak terbunuh/mati diserang oleh suku Madura. Pada akhirnya perkelahian antar etnis merambat sampai ke Palangkaraya dan akhirnya keseluruh penjuru di Kaltim.

Belum terhitung masalah warga Madura di bagian Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan Suku Madura. Lanjutan kerusuhan tersebut adalah peristiwa Sampit yang mencekam ini.

Menurut pengamatan saya dilapangan dan informasi saya yang saya dapat pada waktu itu, (karena saya seorang jurnalis dan saya berasal dari suku Jawa dan tinggal di Banjarmasin), penyebabnya adalah pada waktu itu mereka suku Madura ingin menguasai daerah Sampit dan sekitarnya, bahkan salah sedikit, etnis Madura langsung pukul dan tidak jarang orang suku Dayak pada waktu ke jayaan suku Madura yang ditindas oleh mereka, bahkan bukan orang Dayak saja yang sering diperlakukan tidak senonoh, orang Banjar pun sering juga, tetapi kalau orang Banjar melawan pada waktu itu kalau diperlakukan yang tidak pantas tersebut. Masyarakat Dayak di Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan memang mereka lebih suka memilih mengalah. Banyak sebab yang membuat mereka seakan melupakan asazi manusia, baik sebab langsung maupun tidak langsung.

Sekedar diketahui, di Sampit pada waktu kejadian Perang Sampit berkecamuk, hampir semua pejabat tinggi di Kabupaten Kota Waringin Timur (Sampit) di kuasai dari etnis Madura, baik Bupati, wakil Bupati, Kejati, Kapolres dan bahkan pejabat-pejabat lainnya berasal dari etnis Madura.

H.Charles Badarudin (seorang muslim), seorang tokoh Dayak di Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.

Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka sendiri. Suku Dayak dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai kampung mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari para penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus tersebut.

Tidak sedikit kasus pembunuhan orang Dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme dari etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh aparat yang "katanya" penegak hukum. Nah pada puncaknya akirnya suku Dayak tidak tahan lagi mendapat perlakuan yang seperti itu, terjadilah tragedi Sampit yang ribuan memakan korban dari suku etnis Madura, bahkan mencapai puluhan ribu yang nyawanya hilang pecuma. Padahal masih banyak juga dari etnis Madura yang baik, cuma akibat dari oknum etnis Madura yang jahat tersebut berimbas etnis Madura yang tak berdosa. Allahu Akbar... Kasian mereka...

Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah. Mereka tidak pernah menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang. Mereka dengan ringan-tangan membantu masyarakat sekitarnya. Mereka tidak pernah membawa mandau, sumpit, ataupun panah kedalam kota Sampit untuk "petantang-petenteng".

Etnis Madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi (mengingat mereka sebagai pendatang) yakni selalu ingin menguasai. Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah larangan" orang Dayak oleh penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis Dayak-Madura".

Entah bagaimana cara mereka (Dayak) membedakan suku Madura dengan suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan beringas" orang Dayak.

Menurut informasi yang kami himpun, mereka (suku Dayak & suku Banjar) yang mau berperang melawan suku Madura pada saat itu dimandikan dulu dan bahkan ada yang disuruh menelan minyak kebal (sejenis benda yang memiliki kekuatan) oleh tokoh-tokoh Dayak, kegunaannya adalah mereka kebal terhadap berbagai macam senjata dan mereka dapat mengetahui musuh (suku Dayak) dengan penglihatan mereka dan penciuman mereka.

Menurut salah satu dari mereka, mereka bisa melihat musuh dengan penglihatan mereka suku Madura itu seperti wujud berkepala “SAPI” (seekor binatang), dan bahkan mereka juga dapat mengetahui dengan penciuman mereka dengan terasa bau “SAPI”, dan yang masih dalam kandunganpun mereka bisa mencium, bahwa BAYI LAKI-LAKI yang dikandung itu bapak (ayahnya) seorang etnis Madura. Selain itu menurut keyakinan mereka dalam peperangan melawan SUKU MADURA tersebut mereka di bantu oleh PANGLIMA BURUNG, kata mereka.

Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak kolega-kolega saya yang baru pulang dari Sampit menceritakan keberingasan orang Dayak dan orang Banjar dan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut, sampai pada mitos masyarakat Dayak tentang "Panglima Burung" yang mampu memenggal kepala orang tanpa menyentuh sedikit-pun dan tak nampak wujudnya (mandau terbang langsung memenggal kepala etnis Madura). Banyak sekali keanehan yang saya jumpai pada saat itu seperti terbakarnya pemukiman yang mendominasi etnis Madura, anehnya rumah yang bukan milik etnis Madura tidak ikut terbakar walau tempatnya berdampingan.

Yang perlu diketahui adalah saat peperangan di Sampit bukan saja masyarakat Dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada suku Dayak lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan, seperti suku Dayak yang ada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat, dan suku Dayak di wilayah Malaysia juga ada, bahkan suku Banjar juga banyak.

Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat mayoritas di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda dan menurut informasi yang kuat bisa dipercaya pada waktu kejadian perang di Sampit tersebut antara suku Dayak dan suku Banjar bersatu melawan suku Madura. Dari riwayat budaya Dayak, kalau suku Dayak dan suku Banjar bersatu, berarti hal tersebut merupakan sebuah “PERANG BESAR...!!!”.

Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak, Banjar dan Madura) hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya perekonomian Sampit. Alhamdulillah, beberapa rekan saya di sana (kebetulan bukan suku Madura) masih aman-aman saja. Suku Dayak tidak merusak Gereja, Mesjid, atau rumah peribadatan lainnya. Bahkan ada cerita yang mengabarkan bahwa mereka (Dayak) tidak menyerang orang (madura) yang sempat bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja.

Dalam kejadian perang tersebut Alhamdulillah pemerintah cepat tanggap dengan menutup perbatasan Kapuas (Kalteng) – Anjir (Kalsel) sehingga peperangan tidak merembet ke Banjarmasin, seandainya sampai ke Banjarmasin, kami tidak bisa membayangkan berapa korban lagi yang akan berjatuhan, seribu, sepuluh ribu, mungkin saja bisa mencapai ratusan ribu korban akan berjatuhan kembali, karena Banjarmasin merupakan sentral banua Kalimantan.

Menurut pak Yuhanes seorang tokoh Dayak yang tinggal di Banjarmasin, pada waktu terjadi peperangan itu beliau tidak ada niat untuk ikut dalam peperangan melawan etnis suku Madura, akan tetapi kata beliau sekira jam 1 malam (tengah malam) saya didatangi seorang yang Gaib dan di jemput untuk pergi ke Sampit, anehnya saya dijemput berboncengan naik sepeda motor, tidak masuk akal hanya berkisar kurang lebih 30 menet terasa bagiku sudah nyampai di Sampit. Pada saat itu saya langsung di bawa naik kapal speed bood ketengah laut 7 orang, saya terkejut ternyata ditengah laut itu sudah menghadang puluhan kapal besar dari etnis Madura yang memuat ribuan penumpangnya siap untuk berperang. Lagi-lagi ada keanehan ketika diantara kawan saya satu kapal menghamburkan beras kuning kelaut ke arah mereka (etnis Madura) kapal kami mendekat kekapal etnis Madura, nah disitu terjadi sebuah keanehan yang luar biasa, ribuan tentara etnis Madura itu langsung mengulurkan lehernya ke kami, tanpa sadar saya dan kawan-lawan langsung memenggal kepala mereka itu tanpa sedikitpun merasa kasian lagi.

Cerita bahwa orang Dayak memakan daging manusia ternyata benar, ceritanya begini sewaktu kejadian itu saya bersama teman saya naik sebuah mobil truck bak kayu pengangkut kelapa sawit, diketika itu truck yang kami naiki di stop oleh warga Dayak, kami berhenti dan ternyata mereka ikut menumpang membawa puluhan kotak-kotak, kami merasa ingin bertanya apa isi dari dalam kotak tersebut tetapi kami takut kalau mereka tersinggung dan marah, kotak tersebut berlumuran darah. Sesampainya ditujuan mereka, kami disuruh mampir, untuk menghormati mereka kami mampir sebentar, disana banyak orang berkumpul dengan senjata tajam berupa Mandau terselip di pinggang, kalau menurut logat mereka itu ada terdapat beberapa orang dari suku Banjar dan kamipun sangat terkejut ternyata didalam puluhan kotak-kotak itu berisi hati manusia dari etnis Madura. Kami melihat sendiri hati manusia itu dimasak oleh mereka dan dimakan oleh mereka, Na`uzubillahi Minzalik...

Nah dari beberapa kejadian mitos ini kalau kita berpikir secara akal sehat tidak masuk akal, akan tetapi beginilah fakta dilapangan yang saya temui dan dapatkan. Mudah-mudahan kejadian ini merupakan sebuah pelajaran yang berarti bagi suku Madura bahkan bagi suku-suku lainnya yang tinggal di pulau Kalimantan.
Kenapa Madura..??? Dari hasil pengamatan saya, dan dari cerita rekan-rekan saya, masyarakat oknum suku Madura banyak "petantang-petenteng" di sana, bahkan bukan cuma di Sampit... di Banjarmasin-pun mereka terkenal dengan sifat mereka itu.

Penilaian ini bersifat menyamaratakan anggapan "kekerasan" suku Madura sebagai suku pendatang, memang tidak semuanya begitu. Dari cara mereka melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang dianggap terlalu "kasar" oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. banyak pula tipu-daya yang mereka lakukan. Sekali lagi, tidak semua suku Madura bersifat seperti ini. Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab pecahnya "perang" tersebut dari hasil pengamatan dan penilaian saya adalah TIDAK BENAR.

Salah satu contoh yang pernah saya alami sendiri : Saat turun dari Bis di Sampit (sekitar tahun 1990an), tas saya yang cuma satu dipaksa untuk diangkatkan oleh seorang pemuda dengan logat Madura-nya yang kental. Dengan dalih "bisa saya bawa sendiri" saya coba menolak dengan halus tawaran jasa porter tersebut. tapi dengan wajah tak bersahabat dan dengan sedikit membentak, pemuda itu menarik tas yang saya genggam sambil berkata dengan nada kasar "ini sudah peraturannya..!!! harus dibawakan". Saya bertanya peraturan dari mana…?? Malah dia menjawab dengan sangat kasarnya, dari pada cari penyakit di kampung orang, saya terpaksa cari jalan damai sajalah.... Dan sialnya, dia minta uang jasa sebesar Rp 20.000,-...!! EDANN..!!

Masyarakat Dayak tidak pernah peduli dengan nilai nominal. Mereka bisa saja dengan suka rela ber "partner" dengan para pendatang tanpa proses perpindah-tanganan uang. Mereka lebih memilih barter dengan kopi, gula, garam, atau bahkan sebungkus rokok. Penjarahan yang terjadi di Sampit lebih banyak dilakukan oleh suku-suku pendatang lain yang tidak menjadi sasaran amuk suku Dayak.

Sekali lagi.....tulisan ini cuma bertujuan untuk menjelaskan keadaan Sampit saat kejadian itu, khususnya budaya orang Dayak, dan tidak ada maksud apapun. dan mudah-mudahan kejadian ini sebagai cerminan dalam kehidupan kita, bahwa kekerasan mengakibatkan penderitaan. Sekedar informasi, waktu perjalanan darat dari Banjarmasin-Sampit kira-kira 12 jam...non stop. Alhamdulillah di Banjarmasin masih "aman terkendali".*** (TIM)