HABAR BANUA - SAMPIT. Lima tahun sudah berlalu tragedi Sampit merupakan sebuah kisah pilu yang
tak mudah terlupakan dibenak kita, dan kejadian ini menjadi berita
hangat di negeri ini menjadi sebuah kota yang digambarkan begitu
menakutkan karena pertikaian etnis yang meletusnya tragedi Sampit pada
18 Februari 2001(saya katakan di sini "pertikaian etnis" murni, tidak
ada faktor SARA lainnya) serta mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi di
kemudian hari, karena kita semua bersaudara dan sebangsa serta setanah
air dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat Dayak adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh
harkat dan harga diri. Antara masyarakat suku Dayak dan Suku Banjar
merupakan kesatuan dan persaudaraan sedarah. Karena sejarah suku di
Kalimantan ini adalah hidupnya dua kakak beradik, si kakak tinggal
bermasyarakat di luar pegunungan atau hutan rimba (disebut suku Banjar),
sedangkan si adik sebaliknya (disebut suku Dayak). Sejak zaman dahulu
diketika peradaban masuk ke dalam kehidupan mereka, mereka menentang
budaya kekerasan, bahkan mereka dikenal dengan masyarakat yang santun
serta ramah tamahnya dalam kehidupan bermasyarakat serta memiliki sifat
pemalu terhadap pendatang, apalagi masyarakat Dayak yang tinggal di
pedalaman kalimantan, sifat pemalunya sangat kental disana. Tidak jarang
saya jumpai masyarakat Dayak yang lari bersembunyi dan hanya berani
mengintip dari balik papan dinding rumahnya bila melihat orang asing
datang mendekat.
Namun, masyarakat Dayak mempunyai sistem kekerabatan dan persatuan yang
kuat antar masyarakat Dayak bahkan dengan suku Banjar di seluruh pulau
Kalimantan (termasuk suku Dayak diwilayah Malaysia). Memang antara suku
Dayak dengan suku Banjar masih ada aliran darah kekerabatan. Sekilas
cerita antara suku Dayak dengan suku Banjar, konon sih cerita zaman
dahulu kala di Kalimantan ini hidup dua bersaudara (adik-kakak). Ringkas
cerita dua bersaudara ini memilih hidup jalan mereka masing-masing,
yang adik hidup menyendiri menjauh dari kehidupan (tinggal di daerah
hutan dan perbukitan) di sebut dengan menghasilkan suku Dayak dan si
kakak tinggal di daerah luar mencari tempat yang mudah di jangkau
(tempat keramaian) disebut suku Banjar.
Kenapa orang Dayak jadi beringas terhadap etnis Madura..??
Tahun 1972 di Palangka Raya, seorang gadis Dayak digodai dan diperkosa,
terhadap kejadian itu diadakan penyelesaian dengan mengadakan perdamaian
menurut hukum adat.
Tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh orang Madura atas seorang suku
Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan/penyelesaian secara hukum
tidak ada sama sekali.
Tahun 1983, di Kecamatan Bukit Batu, Kasongan, seorang warga Kasongan
dari etnis Dayak di bunuh (perkelahian 1 (satu) orang Dayak dikeroyok
oleh 30 (tigapuluh) orang Madura). Terhadap pembunuhan atas warga
Kasongan bernama Pulai yang beragama Kaharingan tersebut, oleh tokoh
suku Dayak dan Madura diadakan perdamaian: dilakukan peniwahan Pulai itu
dibebankan kepada pelaku pembunuhan, yang kemudian diadakan perdamaian
ditanda tangani oleh ke dua belah pihak, isinya antara lain menyatakan apabila orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalteng.
Tahun 1996, di Palangka Raya, seorang gadis Dayak diperkosa di gedung
bioskop Panala dan di bunuh dengan kejam (sadis) oleh orang Madura,
ternyata hukumannya sangat ringan.
Tahun 1997, di Desa Karang Langit, Barito Selatan orang Dayak dikeroyok
oleh orang Madura dengan perbandingan kekuatan 2:40 orang, dengan skor
orang Madura mati semua, tindakan hukum terhadap orang Dayak: dihukum
berat. Orang Dayak tersebut diserang dan mempertahankan diri menggunakan
ilmu bela diri? dimana penyerang berhasil dikalahkan semuanya.
Tahun 1997, di Tumbang Samba, ibukota Kecamatan Katingan Tengah, seorang
anak laki-laki bernama Waldi mati terbunuh oleh seorang suku Madura
yang ?tukang jualan sate?. Si belia Dayak mati secara mengenaskan,
ditubuhnya terdapat lebih dari 30 (tigapuluh) bekas tusukan. Anak muda
itu tidak tahu menahu persoalannya, sedangkan para anak muda yang
bertikai dengan si tukang sate telah lari kabur?.Yang tidak dapat
dikejar oleh si tukang sate itu, si korban Waldi hanya kebetulan lewat
di tempat kejadian.
Tahun 1998, di Palangka Raya, orang Dayak dikeroyok oleh 4 (empat) orang
Madura, pelakunya belum dapat ditangkap karena melarikan diri dan
korbannya meninggal, tidak ada penyelesaian secara hukum.
Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang petugas Tibum (Ketertiban Umum)
dibacok oleh orang Madura, pelakunya di tahan di Polresta Palangkaraya,
namun besok harinya datang sekelompok suku Madura menuntut temannya
tersebut dibebaskan tanpa tuntutan, ternyata pihak Polresta Palangka
Raya membebaskannya tanpa tuntutan hukum terhadap pelaku etnis Madura
tersebut.
Tahun 1999, di Palangka Raya, seorang Dayak dikeroyok oleh beberapa
orang suku Madura masalah sengketa tanah, 2 (dua) orang Dayak dalam
perkelahian tidak seimbang itu mati semua, sedangkan pembunuh lolos,
malah orang Jawa yang bersaksi dihukum 1,5 tahun karena dianggap membuat
kesaksian fitnah terhadap pelaku pembunuhan yang melarikan diri dari
etnis Madura itu.
Tahun 1999, di Pangkut, ibukota Kecamatan Arut Utara, Kabupaten
Kotawaringin Barat, terjadi perkelahian massal dengan suku Madura,
gara-gara suku Madura memaksa mengambil/merampas emas pada saat suku
Dayak menambang emas. Perkelahian itu banyak menimbulkan korban pada ke
dua belah pihak, kasus tersebut tanpa penyelesaian hukum.
Tahun 1999, di Tumbang Samba, terjadi penikaman terhadap suami-isteri
bernama IBA oleh 3 (tiga) orang Madura, pasangan suami-isteriitu luka
berat. Dirawat di RSUD Dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, biaya
operasi/perawatan ditanggung oleh Pemda Kalteng. Para pembacok/pelaku
dari etnis madura tidak ditangkap, katanya? sudah pulang ke pulau Madura
sana!!!... (Tiga orang Madura memasuki rumah keluarga IBA dengan dalih
minta diberi minuman air putih, karena katanya mereka haus, sewaktu IBA
menuangkan air di gelas, mereka membacoknya, isteri IBA mau membela,
juga di tikam. Tindakan itu dilakukan mereka menurut cerita mau membalas
dendam, tapi salah orang/alamat).
Tahun 2000, di Pangkut, Kotawaringin Barat, 1 (satu) keluarga Dayak mati
dibantai oleh orang Madura, pelaku pembantaian lari, tanpa ada sama
sekali penyelesaian hukum.
Tahun 2000, di Palangka Raya, 1 (satu) orang suku Dayak di bunuh / mati
oleh pengeroyok suku Madura di depan gedung Gereja Imanuel, Jalan
Bangka. Para pelaku lari, akan tetapi pihak kepolisian tidak mengajarnya
dan kasus ini tanpa proses hukum.
Tahun 2000, di Kereng Pangi, Kasongan, Kabupaten Kotawaringin Timur,
terjadi pembunuhan terhadap SENDUNG (nama kecil). Sendung mati dikeroyok
oleh suku Madura, para pelaku kabur/lari, tidak tertangkap, karena
lagi-lagi? kata pihak kepolisian dengan intengnyanya mengatakan? pelaku
sudah lari ke Pulau Madura, proses hukum tidak ada karena pihak
berwenang tampaknya belum mampu menyelesaikannya (tidak tuntas).
Tahun 2001, di Sampit (17 s/d 20 Februari 2001) warga Dayak banyak
dibunuh/dibantai. Suku Madura terlebih dahulu menyerang warga Dayak.
Bahkan pada waktu itu etnis Madura ingin menjadikan kota tersebut
sebagai kota Sampang ke dua. Dari sinilah kesabaran suku Dayak mulai
luntur, dan akhirnya terjadi tragedi Sampit. Dari perkara inilah akhirnya tokoh-tokoh Suku Dayak Dayak dan tokoh-tokoh Suku Banjar bersepakat akan melakukan perlawanan, baik secara jahir maupun secara gaib. Mereka menyatukan kekuatan untuk melawan Suku Madura, yang pada akhirnya ratusan ribu nyawa dari Suku Dayak melayang sia-sia akibat perlawanan kedua suku ini secara gaib.
Tahun 2001, di Palangka Raya (25 Februari 2001) seorang warga Dayak
terbunuh/mati diserang oleh suku Madura. Pada akhirnya perkelahian antar
etnis merambat sampai ke Palangkaraya dan akhirnya keseluruh penjuru di
Kaltim.
Belum terhitung masalah warga Madura di bagian Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Suku Dayak hidup berdampingan
dengan damai dengan Suku Lainnya di Kalimantan Tengah, kecuali dengan
Suku Madura. Lanjutan kerusuhan tersebut adalah peristiwa Sampit yang
mencekam ini.
Menurut pengamatan saya dilapangan dan informasi saya yang saya dapat
pada waktu itu, (karena saya seorang jurnalis dan saya berasal dari suku
Jawa dan tinggal di Banjarmasin), penyebabnya adalah pada waktu itu
mereka suku Madura ingin menguasai daerah Sampit dan sekitarnya, bahkan
salah sedikit, etnis Madura langsung pukul dan tidak jarang orang suku
Dayak pada waktu ke jayaan suku Madura yang ditindas oleh mereka, bahkan
bukan orang Dayak saja yang sering diperlakukan tidak senonoh, orang
Banjar pun sering juga, tetapi kalau orang Banjar melawan pada waktu itu
kalau diperlakukan yang tidak pantas tersebut. Masyarakat Dayak di
Sampit seperti selalu "terdesak" dan selalu mengalah dan memang mereka
lebih suka memilih mengalah. Banyak sebab yang membuat mereka seakan
melupakan asazi manusia, baik sebab langsung maupun tidak langsung.
Sekedar diketahui, di Sampit pada waktu kejadian Perang Sampit
berkecamuk, hampir semua pejabat tinggi di Kabupaten Kota Waringin Timur
(Sampit) di kuasai dari etnis Madura, baik Bupati, wakil Bupati,
Kejati, Kapolres dan bahkan pejabat-pejabat lainnya berasal dari etnis
Madura.
H.Charles Badarudin (seorang muslim), seorang tokoh Dayak di
Palangkaraya menceritakan kelakuan warga Madura banyak yang tidak
mencerminkan peribahasa “di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung”. Ia mencontohkan salah satunya dalam soal tanah.
Dari kasus pelarangan menambang intan di atas "tanah adat" mereka
sendiri. Suku Dayak dituduh tidak memiliki izin penambangan, sampai
kampung mereka harus berkali-kali berpindah karena harus mengalah dari
para penebang kayu yang terus mendesak mereka makin ke dalam hutan.
Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang
seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat
Dayak menjadi korban kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang Dayak (sebagian besar disebabkan
oleh aksi premanisme dari etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak
karena tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap oleh
aparat yang "katanya" penegak hukum. Nah pada puncaknya akirnya suku
Dayak tidak tahan lagi mendapat perlakuan yang seperti itu, terjadilah
tragedi Sampit yang ribuan memakan korban dari suku etnis Madura, bahkan
mencapai puluhan ribu yang nyawanya hilang pecuma. Padahal masih banyak
juga dari etnis Madura yang baik, cuma akibat dari oknum etnis Madura
yang jahat tersebut berimbas etnis Madura yang tak berdosa. Allahu
Akbar... Kasian mereka...
Dalam keseharian Masyarakat Dayak, kehidupan mereka ternyata jauh dari
anggapan kita yang mengira bahwa mereka itu beringas. Mereka ternyata
sangat pemalu, menerima para pendatang, dan tetap menjaga keutuhan
masyarakatnya baik religi dan ritual mereka. Mereka tidak pernah
mengganggu para penebang kayu yang mendesak mereka untuk terus mengalah.
Mereka tidak pernah menentang anggota masyarakatnya yang ingin masuk
agama yang dibawa oleh orang-orang pendatang. Mereka dengan
ringan-tangan membantu masyarakat sekitarnya. Mereka tidak pernah
membawa mandau, sumpit, ataupun panah kedalam kota Sampit untuk
"petantang-petenteng".
Etnis Madura yang juga punya latar belakang budaya "kekerasan" ternyata
menurut masyarakat Dayak dianggap tidak mampu untuk beradaptasi
(mengingat mereka sebagai pendatang) yakni selalu ingin menguasai.
Sering terjadi kasus pelanggaran "tanah larangan" orang Dayak oleh
penebang kayu yang kebetulan didominasi oleh orang Madura. Hal inilah
yang menjadi salah satu pemicu "perang antar etnis Dayak-Madura".
Entah bagaimana cara mereka (Dayak) membedakan suku Madura dengan
suku-suku lainnya, yang jelas suku-suku lainnya luput dari "serangan
beringas" orang Dayak.
Menurut informasi yang kami himpun, mereka (suku Dayak & suku
Banjar) yang mau berperang melawan suku Madura pada saat itu dimandikan
dulu dan bahkan ada yang disuruh menelan minyak kebal (sejenis benda
yang memiliki kekuatan) oleh tokoh-tokoh Dayak, kegunaannya adalah
mereka kebal terhadap berbagai macam senjata dan mereka dapat mengetahui
musuh (suku Dayak) dengan penglihatan mereka dan penciuman mereka.
Menurut salah satu dari mereka, mereka bisa melihat musuh dengan
penglihatan mereka suku Madura itu seperti wujud berkepala “SAPI”
(seekor binatang), dan bahkan mereka juga dapat mengetahui dengan
penciuman mereka dengan terasa bau “SAPI”, dan yang masih dalam
kandunganpun mereka bisa mencium, bahwa BAYI LAKI-LAKI yang dikandung
itu bapak (ayahnya) seorang etnis Madura. Selain itu menurut keyakinan
mereka dalam peperangan melawan SUKU MADURA tersebut mereka di bantu
oleh PANGLIMA BURUNG, kata mereka.
Banyak yang mengaitkan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut
dengan kepercayaan animisme Dayak (Kaharingan). Banyak kolega-kolega
saya yang baru pulang dari Sampit menceritakan keberingasan orang Dayak
dan orang Banjar dan peristiwa-peristiwa aneh selama "perang" tersebut,
sampai pada mitos masyarakat Dayak tentang "Panglima Burung" yang mampu
memenggal kepala orang tanpa menyentuh sedikit-pun dan tak nampak
wujudnya (mandau terbang langsung memenggal kepala etnis Madura). Banyak
sekali keanehan yang saya jumpai pada saat itu seperti terbakarnya
pemukiman yang mendominasi etnis Madura, anehnya rumah yang bukan milik
etnis Madura tidak ikut terbakar walau tempatnya berdampingan.
Yang perlu diketahui adalah saat peperangan di Sampit bukan saja
masyarakat Dayak Sampit yang berada di sana, tetapi juga ada suku Dayak
lainnya dari beberapa propinsi di pulau Kalimantan, seperti suku Dayak
yang ada di Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat,
dan suku Dayak di wilayah Malaysia juga ada, bahkan suku Banjar juga
banyak.
Bayangkan, masyarakat Dayak yang sebelumnya bukan masyarakat mayoritas
di sana, saat terjadi "perang" jumlah mereka berlipat ganda dan menurut
informasi yang kuat bisa dipercaya pada waktu kejadian perang di Sampit
tersebut antara suku Dayak dan suku Banjar bersatu melawan suku Madura.
Dari riwayat budaya Dayak, kalau suku Dayak dan suku Banjar bersatu,
berarti hal tersebut merupakan sebuah “PERANG BESAR...!!!”.
Pengungsian besar-besaran masyarakat suku lain (selain Dayak, Banjar dan
Madura) hanya dikarenakan rasa ngeri melihat "perang" dan lumpuhnya
perekonomian Sampit. Alhamdulillah, beberapa rekan saya di sana
(kebetulan bukan suku Madura) masih aman-aman saja. Suku Dayak tidak
merusak Gereja, Mesjid, atau rumah peribadatan lainnya. Bahkan ada
cerita yang mengabarkan bahwa mereka (Dayak) tidak menyerang orang
(madura) yang sempat bersembunyi di dalam Masjid atau Gereja.
Dalam kejadian perang tersebut Alhamdulillah pemerintah cepat tanggap
dengan menutup perbatasan Kapuas (Kalteng) – Anjir (Kalsel) sehingga
peperangan tidak merembet ke Banjarmasin, seandainya sampai ke Banjarmasin, kami tidak bisa membayangkan berapa korban lagi yang akan berjatuhan, seribu, sepuluh ribu, mungkin saja bisa mencapai ratusan ribu korban akan berjatuhan kembali, karena Banjarmasin merupakan sentral banua Kalimantan.
Menurut pak Yuhanes seorang tokoh Dayak yang tinggal di Banjarmasin,
pada waktu terjadi peperangan itu beliau tidak ada niat untuk ikut dalam
peperangan melawan etnis suku Madura, akan tetapi kata beliau sekira
jam 1 malam (tengah malam) saya didatangi seorang yang Gaib dan di
jemput untuk pergi ke Sampit, anehnya saya dijemput berboncengan naik
sepeda motor, tidak masuk akal hanya berkisar kurang lebih 30 menet
terasa bagiku sudah nyampai di Sampit. Pada saat itu saya langsung di
bawa naik kapal speed bood ketengah laut 7 orang, saya terkejut ternyata
ditengah laut itu sudah menghadang puluhan kapal besar dari etnis
Madura yang memuat ribuan penumpangnya siap untuk berperang. Lagi-lagi
ada keanehan ketika diantara kawan saya satu kapal menghamburkan beras
kuning kelaut ke arah mereka (etnis Madura) kapal kami mendekat kekapal
etnis Madura, nah disitu terjadi sebuah keanehan yang luar biasa, ribuan
tentara etnis Madura itu langsung mengulurkan lehernya ke kami, tanpa
sadar saya dan kawan-lawan langsung memenggal kepala mereka itu tanpa
sedikitpun merasa kasian lagi.
Cerita bahwa orang Dayak memakan daging manusia ternyata benar,
ceritanya begini sewaktu kejadian itu saya bersama teman saya naik
sebuah mobil truck bak kayu pengangkut kelapa sawit, diketika itu truck
yang kami naiki di stop oleh warga Dayak, kami berhenti dan ternyata
mereka ikut menumpang membawa puluhan kotak-kotak, kami merasa ingin
bertanya apa isi dari dalam kotak tersebut tetapi kami takut kalau
mereka tersinggung dan marah, kotak tersebut berlumuran darah.
Sesampainya ditujuan mereka, kami disuruh mampir, untuk menghormati
mereka kami mampir sebentar, disana banyak orang berkumpul dengan
senjata tajam berupa Mandau terselip di pinggang, kalau menurut logat
mereka itu ada terdapat beberapa orang dari suku Banjar dan kamipun
sangat terkejut ternyata didalam puluhan kotak-kotak itu berisi hati
manusia dari etnis Madura. Kami melihat sendiri hati manusia itu dimasak
oleh mereka dan dimakan oleh mereka, Na`uzubillahi Minzalik...
Nah dari beberapa kejadian mitos ini kalau kita berpikir secara akal
sehat tidak masuk akal, akan tetapi beginilah fakta dilapangan yang saya
temui dan dapatkan. Mudah-mudahan kejadian ini merupakan sebuah
pelajaran yang berarti bagi suku Madura bahkan bagi suku-suku lainnya
yang tinggal di pulau Kalimantan.
Kenapa Madura..??? Dari hasil pengamatan saya, dan dari cerita
rekan-rekan saya, masyarakat oknum suku Madura banyak
"petantang-petenteng" di sana, bahkan bukan cuma di Sampit... di
Banjarmasin-pun mereka terkenal dengan sifat mereka itu.
Penilaian ini bersifat menyamaratakan anggapan "kekerasan" suku Madura
sebagai suku pendatang, memang tidak semuanya begitu. Dari cara mereka
melakukan usaha dalam bidang perekonomian saja, mereka terkadang
dianggap terlalu "kasar" oleh sebagian besar masyarakat Dayak, bahkan
masyarakat Banjar sekalipun. Banyak cara-cara pemaksaan untuk
mendapatkan hasil usaha kepada konsumen mereka. banyak pula tipu-daya
yang mereka lakukan. Sekali lagi, tidak semua suku Madura bersifat
seperti ini. Jadi, berita atau anggapan tentang kecemburuan
sosial-ekonomi yang menjadi penyebab pecahnya "perang" tersebut dari
hasil pengamatan dan penilaian saya adalah TIDAK BENAR.
Salah satu contoh yang pernah saya alami sendiri : Saat turun dari Bis
di Sampit (sekitar tahun 1990an), tas saya yang cuma satu dipaksa untuk
diangkatkan oleh seorang pemuda dengan logat Madura-nya yang kental.
Dengan dalih "bisa saya bawa sendiri" saya coba menolak dengan halus
tawaran jasa porter tersebut. tapi dengan wajah tak bersahabat dan
dengan sedikit membentak, pemuda itu menarik tas yang saya genggam
sambil berkata dengan nada kasar "ini sudah peraturannya..!!! harus
dibawakan". Saya bertanya peraturan dari mana…?? Malah dia menjawab
dengan sangat kasarnya, dari pada cari penyakit di kampung orang, saya
terpaksa cari jalan damai sajalah.... Dan sialnya, dia minta uang jasa
sebesar Rp 20.000,-...!! EDANN..!!
Masyarakat Dayak tidak pernah peduli dengan nilai nominal. Mereka bisa
saja dengan suka rela ber "partner" dengan para pendatang tanpa proses
perpindah-tanganan uang. Mereka lebih memilih barter dengan kopi, gula,
garam, atau bahkan sebungkus rokok. Penjarahan yang terjadi di Sampit
lebih banyak dilakukan oleh suku-suku pendatang lain yang tidak menjadi
sasaran amuk suku Dayak.
Sekali lagi.....tulisan ini cuma bertujuan untuk menjelaskan keadaan
Sampit saat kejadian itu, khususnya budaya orang Dayak, dan tidak ada
maksud apapun. dan mudah-mudahan kejadian ini sebagai cerminan dalam
kehidupan kita, bahwa kekerasan mengakibatkan penderitaan. Sekedar
informasi, waktu perjalanan darat dari Banjarmasin-Sampit kira-kira 12
jam...non stop. Alhamdulillah di Banjarmasin masih "aman terkendali".***
(TIM)